Ketika kita memiliki kendaraan (taksi atau angkot) yang dijalankan oleh seorang supir agar dapat menghasilkan uang. Apabila terjadi pelanggaran lalu lintas yang menyebabkan adanya denda yang nilainya sering kali tidak sedikit, siapakah yang berkewajiban untuk membayar denda tersebut, pemilik atau pengelola?
Pada dasarnya kaum muslimin itu terikat dengan poin-poin perjanjian yang telah mereka sepakati. Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari tanpa sanad, Khalifah Umar mengatakan,
الشروط مقاطع الحقوق
“Poin perjanjian adalah penentu kepastian hak.”
Jika di awal telah terdapat perjanjian mengenai pihak yang menanggung denda pelanggaran lalu lintas, maka perjanjianlah yang kita jadikan sebagai tolok ukur. Jika tidak ada ketegasan di awal perjanjian kerja, maka yang dijadikan sebagai tolok ukur adalah kebiasaan atau hukum tidak tertulis yang beredar di dunia supir.
Sebagai tambahan keterangan, perlu diketahui bahwa hukuman dalam bentuk denda finansial itu hukumnya diperbolehkan menurut pendapat yang paling kuat sebagaimana adanya hukuman berupa menyita separo dari total harta orang yang tidak mau membayar zakat. Penyitaan dalam hal ini jelas tergolong denda finansial. Di antara ulama yang membolehkan adanya denda finansial adalah Ibnul Qoyim.
Artikel www.PengusahaMuslim.com